Dilaporkan, 24.000 personel tentara siap menerjang Madinah dibawah komando Abu Sufyan dan ‘Uyainah bin Hishn. Mereka berniat membabat habis Islam dan kaum muslimin sampai ke akar-akarnya. Mereka bukan saja dari kalangan :@ kuffar Quraisy. Beberapa suku dan kabilah yang menganggap Islam dan umat islam sebagai musuh bersama telah menyatukan kata, memerangi Rosululloh Saw dan para sahabatnya hingga tak tersisa. Mereka telah berangkat mewujudkan makar mereka.
Mendengar kabar genting ini Rosululloh Saw segera mengumpulkan para sababat. Menghadapi mereka di luar Madinah jelas lebih berbahaya. Karenanya diputuskan untuk bertahan di dalam kota dan mempertahankan Islam sampai titik darang penghabisan.
Masih ada sekian hari sampai datangnya pasukan Quraisy dan sekutunya. Di antara mereka yang gelisah menunggu hari pertempuran itu adalah seorang yang berperawakan jangkung dan berambut lebat. :t Dengan membawa kegelisahannya ia menuju ketempat yang cukup tinggi sampai ia bisa memandangi Madinah dan sekitarnya dengan leluasa.
Disaat itulah ia menyadari sesuatu. Ada yang bisa dilakukan untuk mencegah pasukan sekutu masuk kedalam kota. Setengah berlari ia menemui orang yang paling dikasihinya melebihi dirinya sendiri, :L yaitu Rosululloh Saw.
Ide sederhana: menggali parit ! :D
Madinah dikelilingi oleh benteng ciptaan Alloh berupa gunung-gunung batu yang terjal. Mustahil orang-orang Quraisy dan sekutunya mampu mendakinya dan sampai madinah dengan selamat. Namun demikian, ada areal terbuka yang bisa digunakan sebagai pintu masuk kota. Disepanjang areal terbuka inilah diusulkan digali parit yang tidak dapat dilewati oleh kuda perang terbaik sekalipun. Rosululloh bersuka cita mendengar usulan itu. Rencana brilian itu memang belum pernah dikenal oleh orang-orang arab, tetapi tidak ada pilihan lain.
Penggagas itu adalah sang musafir cinta dari negeri Persia, Salman bin Badzakhsyan yang lebih dikenal dengan Salman al-Farisiy.
Mari kita simak perjalanan :L cintanya...
“Aku lahir dan dibesarkan di Isfahan. Ayahku seorang pejabat yang dihormati disana. Beliau sangat menyayangiku. Sedemikian sayangnya hingga aku tak diizinkan keluar rumah. Aku ditugasi menjaga api, sesembahan kami. Aku bertanggung jawab atas api itu, dan tidak boleh padam. Aku seorang Majusi.
Ayahku memiliki sebidang tanah. Suatu hari aku disuruh kesana. Di tengah perjalanan aku mendapati sebuah bangunan yang tampaknya dipenuhi oleh orang-orang yang sedang beribadah. Aku mendekati bangunan itu dan kulihat orang-orang yang ada di dalamnya tengah khusyu’ beribadah. Dalam hati aku berkata, “Ini lebih baik daripada yang selama ini aku anut.” Aku juga sempat bertanya kepada mereka, dari mana asal-usul agama mereka. “Dari Syam (Syria),“ Jawab mereka.
Aku menikmati dan tetap berada di gereja itu sampai matahari terbenam, sampai ayahku menyuruh utusannya untuk menjemputku.
Kunyatakan ketertarikanku kepada agama yang baru kukenal itu. Perdebatan sengin terjadi antara aku dan ayahku. Hasilnya, tangan dan kakiku dibelenggu. Aku dalam pasungan setelah dalam pingitan.
Lalu aku kirimkan sepucuk surat kepada oang-orang Nasrani; kunyatakan bahwa aku memeluk agama mereka. Aku juga meminta supaya diberitahu jika datang rombongan dari Syria. Permintaanku mereka kabulkan. Mereka mengabariku saat rombongan dari Syria itu datang.dengan berbagai cara akhirnya aku berhasil lepas dari belenggu dan bergabung dengan rombongan itu menuju Syria. Kutinggalkan ayah dan apiku yang sangat aku cintai menuju cinta sejati.
Sesampainya di Syria aku bertanya siapa gerangan orang yang ahli dalam agama ini. ”Uskup pengguni gereja,” jawab mereka. Maka aku datang kepadanya, kuceritakan ihwal diriku, dan keinginanku untuk berkhidmah kepadanya.
Aku tidak menyangka sama sekali sebelumnya, ternyata uskup itu seorang yang busuk. Ia kumpulkan sedekah dari masyarakat, namun alih-alih dibagikannya kepada fakir miskin, sedekah itu ia simpan untuknya sendiri. Singkat kata uskup itu meninggal dan posisinya digantikan oleh uskup yang lain.
Kudapati ia seorang yang shalih. Karenanya aku lebih giat mempelajari agama ini darinya dan aku sangat mencintainya. Tak pernah aku mencintai manusia seperti aku cintaku kepadanya.
Menjelang ajalnya ia berpesan kepadaku untuk menemui temannya di daerah Mosul. Maka setelah memakamkannya, aku pun berangkat ke Mosul. Demikianlah berturut-turut aku berpindah dari Mosul ke Nasibin lalu ke Amuria, sebuah kota yang termasuk wilayah Romawi. Uskup Amuria juga seorang yang sholih. Menjelang ajal dia berujar bahwa sudah tidak ada lagi orang yang sepertinya. Tetapi, katanya sudah dekat masa datangnya seorang Nabi terakhir. Ia akan hijrah ke suatu tempat yang di tumbuhi pohon kurma di antara dua bidang tanah yang berbatu-batu hitam. Dia tidak makan sedekah akan tetapi makan hadiah. Di pundaknya ada cap kenabian.
Suatu hari, dengan menggadaikan ternakku aku berhasil sampai ketanah seperti yang disyaratkan oleh uskup yang terakhir yang kutemui. Oleh orang yang membawaku aku dijual oleh seorag Yahudi Bani Quraizhah. Ku tunggu saat-saat itu.
Suatu hari ku dengar ribut-ribut suara tuanku dengan kawan-kawannya. Katanya ada seseorang yang datang dari Makkah mengaku sebagai Nabi. Mendengar suara itu tubuhku gemetar.
Sore harinya, aku bersiap siap untuk menemui orang yang akan sangat aku cintai, jika memang benar dia orangnya. Aku berangkat ke Quba’. Di sana ku jumpai orang-orang dengan ciri-ciri orang yang diceritakan oleh kawan tuanku. Kepada mereka ku berikan segantang kurma sebagai sedekah. Semua memakannya kecuali satu orang saja. “Ini tanda pertama,” kataku dalam hati.
Keesokan harinya aku kesana lagi. Ku bawa segantang kurma dan kuberikan sebagai hadiah. Semua memakannya, tak terkecuali satu orang yang kemarin tidak mau memannya. “ini tanda kedua,” kumantapkan hatiku.
Beberapa hari kemudian aku menemui mereka sedang mengantarkan jenazah. Dan orang yang kemarin tidak memakan sedekah itu mengenakan dua lembar kain lebar. Aku berusaha melihatnya. Dia paham. Disingkapnya pundaknya. Dengan jelas kulihat cap kenabian, tanda ketiga itu. Melihat itu aku menangis dan menciumi beliau sejadi-jadinya. Aku masuk Islam dan kuceritakan perjalananku. Perjalanan menuju cinta yang tidak sia-sia.
Dikutip dari majalah ar-risalah hal. 48-49 no. 46 Th, Shafar –Rabi’ul awal 1426 H/April 2005 :)
Masih ada sekian hari sampai datangnya pasukan Quraisy dan sekutunya. Di antara mereka yang gelisah menunggu hari pertempuran itu adalah seorang yang berperawakan jangkung dan berambut lebat. :t Dengan membawa kegelisahannya ia menuju ketempat yang cukup tinggi sampai ia bisa memandangi Madinah dan sekitarnya dengan leluasa.
Disaat itulah ia menyadari sesuatu. Ada yang bisa dilakukan untuk mencegah pasukan sekutu masuk kedalam kota. Setengah berlari ia menemui orang yang paling dikasihinya melebihi dirinya sendiri, :L yaitu Rosululloh Saw.
Ide sederhana: menggali parit ! :D
Madinah dikelilingi oleh benteng ciptaan Alloh berupa gunung-gunung batu yang terjal. Mustahil orang-orang Quraisy dan sekutunya mampu mendakinya dan sampai madinah dengan selamat. Namun demikian, ada areal terbuka yang bisa digunakan sebagai pintu masuk kota. Disepanjang areal terbuka inilah diusulkan digali parit yang tidak dapat dilewati oleh kuda perang terbaik sekalipun. Rosululloh bersuka cita mendengar usulan itu. Rencana brilian itu memang belum pernah dikenal oleh orang-orang arab, tetapi tidak ada pilihan lain.
Penggagas itu adalah sang musafir cinta dari negeri Persia, Salman bin Badzakhsyan yang lebih dikenal dengan Salman al-Farisiy.
Mari kita simak perjalanan :L cintanya...
“Aku lahir dan dibesarkan di Isfahan. Ayahku seorang pejabat yang dihormati disana. Beliau sangat menyayangiku. Sedemikian sayangnya hingga aku tak diizinkan keluar rumah. Aku ditugasi menjaga api, sesembahan kami. Aku bertanggung jawab atas api itu, dan tidak boleh padam. Aku seorang Majusi.
Ayahku memiliki sebidang tanah. Suatu hari aku disuruh kesana. Di tengah perjalanan aku mendapati sebuah bangunan yang tampaknya dipenuhi oleh orang-orang yang sedang beribadah. Aku mendekati bangunan itu dan kulihat orang-orang yang ada di dalamnya tengah khusyu’ beribadah. Dalam hati aku berkata, “Ini lebih baik daripada yang selama ini aku anut.” Aku juga sempat bertanya kepada mereka, dari mana asal-usul agama mereka. “Dari Syam (Syria),“ Jawab mereka.
Aku menikmati dan tetap berada di gereja itu sampai matahari terbenam, sampai ayahku menyuruh utusannya untuk menjemputku.
Kunyatakan ketertarikanku kepada agama yang baru kukenal itu. Perdebatan sengin terjadi antara aku dan ayahku. Hasilnya, tangan dan kakiku dibelenggu. Aku dalam pasungan setelah dalam pingitan.
Lalu aku kirimkan sepucuk surat kepada oang-orang Nasrani; kunyatakan bahwa aku memeluk agama mereka. Aku juga meminta supaya diberitahu jika datang rombongan dari Syria. Permintaanku mereka kabulkan. Mereka mengabariku saat rombongan dari Syria itu datang.dengan berbagai cara akhirnya aku berhasil lepas dari belenggu dan bergabung dengan rombongan itu menuju Syria. Kutinggalkan ayah dan apiku yang sangat aku cintai menuju cinta sejati.
Sesampainya di Syria aku bertanya siapa gerangan orang yang ahli dalam agama ini. ”Uskup pengguni gereja,” jawab mereka. Maka aku datang kepadanya, kuceritakan ihwal diriku, dan keinginanku untuk berkhidmah kepadanya.
Aku tidak menyangka sama sekali sebelumnya, ternyata uskup itu seorang yang busuk. Ia kumpulkan sedekah dari masyarakat, namun alih-alih dibagikannya kepada fakir miskin, sedekah itu ia simpan untuknya sendiri. Singkat kata uskup itu meninggal dan posisinya digantikan oleh uskup yang lain.
Kudapati ia seorang yang shalih. Karenanya aku lebih giat mempelajari agama ini darinya dan aku sangat mencintainya. Tak pernah aku mencintai manusia seperti aku cintaku kepadanya.
Menjelang ajalnya ia berpesan kepadaku untuk menemui temannya di daerah Mosul. Maka setelah memakamkannya, aku pun berangkat ke Mosul. Demikianlah berturut-turut aku berpindah dari Mosul ke Nasibin lalu ke Amuria, sebuah kota yang termasuk wilayah Romawi. Uskup Amuria juga seorang yang sholih. Menjelang ajal dia berujar bahwa sudah tidak ada lagi orang yang sepertinya. Tetapi, katanya sudah dekat masa datangnya seorang Nabi terakhir. Ia akan hijrah ke suatu tempat yang di tumbuhi pohon kurma di antara dua bidang tanah yang berbatu-batu hitam. Dia tidak makan sedekah akan tetapi makan hadiah. Di pundaknya ada cap kenabian.
Suatu hari, dengan menggadaikan ternakku aku berhasil sampai ketanah seperti yang disyaratkan oleh uskup yang terakhir yang kutemui. Oleh orang yang membawaku aku dijual oleh seorag Yahudi Bani Quraizhah. Ku tunggu saat-saat itu.
Suatu hari ku dengar ribut-ribut suara tuanku dengan kawan-kawannya. Katanya ada seseorang yang datang dari Makkah mengaku sebagai Nabi. Mendengar suara itu tubuhku gemetar.
Sore harinya, aku bersiap siap untuk menemui orang yang akan sangat aku cintai, jika memang benar dia orangnya. Aku berangkat ke Quba’. Di sana ku jumpai orang-orang dengan ciri-ciri orang yang diceritakan oleh kawan tuanku. Kepada mereka ku berikan segantang kurma sebagai sedekah. Semua memakannya kecuali satu orang saja. “Ini tanda pertama,” kataku dalam hati.
Keesokan harinya aku kesana lagi. Ku bawa segantang kurma dan kuberikan sebagai hadiah. Semua memakannya, tak terkecuali satu orang yang kemarin tidak mau memannya. “ini tanda kedua,” kumantapkan hatiku.
Beberapa hari kemudian aku menemui mereka sedang mengantarkan jenazah. Dan orang yang kemarin tidak memakan sedekah itu mengenakan dua lembar kain lebar. Aku berusaha melihatnya. Dia paham. Disingkapnya pundaknya. Dengan jelas kulihat cap kenabian, tanda ketiga itu. Melihat itu aku menangis dan menciumi beliau sejadi-jadinya. Aku masuk Islam dan kuceritakan perjalananku. Perjalanan menuju cinta yang tidak sia-sia.
Dikutip dari majalah ar-risalah hal. 48-49 no. 46 Th, Shafar –Rabi’ul awal 1426 H/April 2005 :)
0 komentar:
Posting Komentar